Selamat pagi, di hari yang benar-benar pagi ini wafa terbanun. Wafa teringat lagi kenapa ada disini, kota jogja yang jauh dari kampung halaman. Seketika ingatan-ingatan datang. Tak hanya itu, bahkan masalah-masalah kembali datang. Masalah yang sebenarnya tidak perlu ada, karena ini hanya akibat kemalasan wafa.
---
Masalah-masalah itu selalu menghantui wafa hampir di setiap malam. Entahlah, masalah kuliah ini sangat membuat wafa terpukul. Rasanya seperti terpukul lidi, kecil tapi perih. Beberapa orang sudah wafa hubungi ketika hening di malam hari tiba, karena di saat itulah wafa kembali di datangi masalah-masalah itu. Bukan untuk berdiskusi mengenai masalah ini, tapi mencoba bertanya bagaimana wafa bisa tidur di malam ini dan bangun tepat sebelum fajar datang. Tapi pada kenyataannya, tidur di waktu yang tepat itu sulit. Karena bukan penyebab masalah tidur ini yang sebenarnya diatasi, tetapi hanya pergi dan menghindar dari masalah itu.
Kuliah bukan hanya tentang masa depan, tapi ini tentang tanggung jawab dari apa yang telah wafa putuskan. Memutuskan kuliah adalah sesuatu pengorbanan yang sangat besar, kuliah tak murah dan tak mudah. Memang biaya kuliah murah, tapi yang dipikirkan tidak hanya biaya kuliah. Biaya-biaya lain yang mendampinginya adalah yang lebih mahal. Bagaimana wafa bisa hidup di negeri orang ini dengan kebudayaan yang berbeda dan standar yang berbeda dengan kampung halaman.
Ketika di desa kamu hanya perlu ke dapur untuk mendapatkan segelas kopi hangat. Di sini tak semudah itu, wafa harus memilih warung mana yang cocok. Secangkir kopi yang sama harganya bisa saja berbeda untuk beberapa tempat. Mungkin hanya dua ribu di warmindo depan kosan, tapi lebih dari lima belas ribu di cafe sebelah utara selokan mataram.
Gaya hidup adalah kuncinya, tapi mencari standar gaya hidup itu sangat triki. Kamu harus rela kehilangan teman-temanmu dengan standar dan gaya hidup yang berbeda. Mungkin sepintas terlihat "ahh gak mungkin,.". Tapi, coba kita lihat sedikit kenyataannya. Ketika semua temanmu setuju ke cafe di sebeleah utara selokan mataram, apakah kamu menolaknya? Tentu tidak. Ketika sampai disana apa yang kamu pesan? tentunya secangkir kopi yang harganya setara dengan orak-arik ayam ditambah es teh, gorengan dua sama kerupuk satu di warmindo depan kosan. Bahkan mungkin secangkir kopimu itu lebih mahal, karena ada biaya parkir untuk bapak-bapak berbaju jingga yang tiba-tiba hadir di belakangmu dan memegang besi bagian belakang motormu sambil tersenyum -- duit nih. Belum lagi biaya bensin yang sekarang kelasnya tak lagi premium tapi bisa lebih (minimal pertalite). Bayangkan perbedaannya yang jauh itu, ketika kamu melakukan downgrade dari gaya hidupmu, maka teman-temanmu akan mengiramu sombong (karena tak mau lagi di ajak ke cafe sebelah selatan selokan mataram yang berada tepat di depan cafe sebelah utara selokan mataram yang terpisahkan oleh dua jalan dan satu selokan).
Inilah salah satu masalah wafa, mengatur dan memilih mana gaya hidup yang cocok untuknya. Tapi, perjalanan tak semudah itu. Masalah gaya hidup itu harus dirubah sedikit demi sedikit, meskipun kadang terlalu sakit. Sakit karena perut belum di isi sayuran tanpa minyak -- karena itu wafa sering deg-degan karena makanan penuh minyak itu. Membeli-membeli makanan di warmindo itu sangat membosankan dan masih tergolong mahal. Meskipun wafa mencoba beberapa warung makan di sekitar kosan wafa, tapi porsi makanan dari warung-warung itu sangat sedikit. Kadang justru membuat wafa kelaparan di tengah malam yang akhirnya tidak makan melainkan menulis (untuk melupakan sejenak rasa lapar). Dengan membeli makanan-makanan siap santap rasanya masih teralalu mahal. Jatah uang wafa dalam sehari yang hanya seharga kopi di cafe itu ditambah esteh dan gorengan di warmindo membuat wafa harus memutar otak. Bagaimana agar perut kenyang dompet juga masih kenyang.
Langkah selanjutnya adalah bagaimana jika wafa membuat makanan sendiri. Ini terbukti ampuh, dengan membeli beras satu kilo yang harganya sepertiga cangkir kopi, kacang panjang yang harganya seperempat cangkir kopi dan telur setengah kilo yang harganya satu cangkir kopi. Kini wafa dalam empat hari hanya menghabiskan dua cangkir kopi saja. Masalah terselesaikan -- setelah kehilangan gaya hidup yang lama, melawan rasa malas, mekso awak dan memilih lingkaran yang cocok. Apakah ini akan bertahan lama wafa pun masih belum tahu, kita lihat saja nanti.
---
Hidup di dunia kuliah itu juga tidak mudah dan tidak melulu masalah makanan. Sekarang ini masalah yang nyata adalah tentang mobilisasi badan wafa. Bagaimana badan wafa bisa berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain menjadi mudah dan murah. Sebagai parameternya, asalkan wafa ingin berpidan dari suatu tempat ke tempat lain itu tanpa perlu berfikir ulang.
Beberapa waktu belakangan ini, wafa sudah tak menggunakan sepeda jieyang yang disayang. Karena roda, poros dan rem sudah usang. Wafa yakin untuk memperbaikinya itu setara dengan membeli sepeda bekas di Jogja. Pilihan lain tinggal jalan kaki,pinjam, ojek atau tebengan. Untuk tebengan dan pinjam, wafa selalu membatasinya karena tak ingin merepotkan orang lain dan karena tidak setiap saat orang bisa dan mau direpotkan. Tinggal ojek dan jalan kaki.
Percayalah, ojek sangatlah mahal. Pulang dan pergi dari kosan ke kampus itu memakan biaya sebesar nasi orak-arik ayam ditambah es teh. Jadi wafa sering ke kampus atau pulang dengan jalan kaki sejauh 30 menit melangkah dengan kecepatan jalan kaki rata-rata. Bayangkan jika wafa harus kuliah jam tujuh pagi.
Sekarang inilah masalah besar wafa, bagaimana memobilisasi.
"Makanya kerja Fa",
Pekerjaan yang sangat menjanjikan itu adalah menjadi pengajar les private. Tapi kenyataannya itu membutuhkan kendaraan. Mau menjadi ojek juga perlu kendaraan, ikut lomba juga perlu kendaraan, jualan makanan juga perlu kendaraan, jaga toko pun perlu kendaraan ke tokonya.
Kenyataan yang benar-benar nyata adalah ketika wafa ingin memiliki sepeda motor maka wafa harus perlu motor untuk bekerja. Wafa juga ikut menjadi asisten (itu pun sebenarnya memerlukan kendaraan). Semoga pundi-pundi uang dapat terkumpul di tangan wafa dan bisa mendapatkan kendaraan yang sangat dibutuhkan wafa.
---
Masala kendaraan ini juga berdampak besar pada kuliah wafa. Bagaimana tidak, ketika kuliah pagi datang, wafa harus masak pagi, kadang mencuci dan jalan kaki ke kampus.
"Kenapa gak ngojek?"
Bagaimana cangkir-cangkir kopi dapat terkumpul kalau wafa harus ngojek tiap hari. Melakukan downgrade gaya hidup pun tak cukup, perlu waktu yang lama dan kerja lepas. Kerja lepas yang wafa dapatkan tanpa perlu kendaraan adalah ngoding.
Wafa sangat bersyukur bisa ngoding yang wafa tekuni sejak SMA. Ternyata sedikit keahlian ini sangat berguna bagi hidup wafa sekarang. Wafa sering ditanya kenapa suka ngoding, jawabannya sederhana "karena aku bisa menyuruh komputer apa yang aku mau secara lebih spesifik".
Akhirnya, beberapa matakuliah wafa terbengkalai dengan dalih tak ada kendaraan. Meskipun alasan itu sebenarnya tak dapat diterima. Tapi memang jujur, kuliah yang sudah berada di ujung lembayung ini sangat sulit ketika ditempuh dengan mobilitas yang sangat rendah.
Mungkin malah-masalah ini seperti embun-embun kecil di sepucuk daun lembayung di fajar pagi yang kemudian berkumpul di ujungnya membentuk segumpal air yang akan segera menetes.
---
"Lalu, mengapa tak meminta orang tua?"
Jawaban yang sangat sederhana, "koe ki wes rong puluh tahun luwih lho fa".
---
Bagaimana lanjutan kisah perjuangan wafa?
Jawaban dari itu juga masih wafa tunggu jawabannya. Sekarang yang wafa bisa lakukan hanya berusaha. Berusaha untuk melawan malas, susah tidur dan masalah-masalah yang wafa buat sendiri karena malas.
Wafa hanya selalu mencoba menepati janji dan bertanggung jawab atas semua keputusannya. Karena wafa selalu yakin jika menepati janji dan dapat dipercaya adalah kunci dari kepercayaan orang lain. Kepercayaan itu nantinya akan memudahkan segala jalan wafa. Selain itu, ikhlas yang merupakan ilmu paling sulit (ke-3 setelah ilmu tentang manusia) adalah juga penerang jalan wafa.
Belakangan ini, baru saja mengenal orang-orang baru dengan lingkaran-lingkaran barunya. Seperti ada cahaya-cahaya baru. Cahaya yang sempat tak wafa pikirkan.
Kuliah adalah sebuah tanggaung jawab dan perjuangan keluarga besar untuk mengirim kesatria terbaiknya menaikkan derajat keluarga. Tak hanya soal materi, tapi ini soal sebuah kepercayaan status sosial.
---
Apakah kamu bahagia fa?
Kata cak Nun, hidup ini bergantung orientasimu (hasil atau proses). Menurut wafa, orientasi pada hasil itu bisa gagal dan kecewa. Maka berorientasi pada proses itu sebuah investasi besar atas pengalaman dan ilmu pengetahuan. Karena proses selalu menarik dari setiap sudut dan sisinya.
Sekarang wafa bertanya kembali padamu, "apakah menurutmu wafa bahagia?".
---
Masalah-masalah itu selalu menghantui wafa hampir di setiap malam. Entahlah, masalah kuliah ini sangat membuat wafa terpukul. Rasanya seperti terpukul lidi, kecil tapi perih. Beberapa orang sudah wafa hubungi ketika hening di malam hari tiba, karena di saat itulah wafa kembali di datangi masalah-masalah itu. Bukan untuk berdiskusi mengenai masalah ini, tapi mencoba bertanya bagaimana wafa bisa tidur di malam ini dan bangun tepat sebelum fajar datang. Tapi pada kenyataannya, tidur di waktu yang tepat itu sulit. Karena bukan penyebab masalah tidur ini yang sebenarnya diatasi, tetapi hanya pergi dan menghindar dari masalah itu.
Kuliah bukan hanya tentang masa depan, tapi ini tentang tanggung jawab dari apa yang telah wafa putuskan. Memutuskan kuliah adalah sesuatu pengorbanan yang sangat besar, kuliah tak murah dan tak mudah. Memang biaya kuliah murah, tapi yang dipikirkan tidak hanya biaya kuliah. Biaya-biaya lain yang mendampinginya adalah yang lebih mahal. Bagaimana wafa bisa hidup di negeri orang ini dengan kebudayaan yang berbeda dan standar yang berbeda dengan kampung halaman.
Ketika di desa kamu hanya perlu ke dapur untuk mendapatkan segelas kopi hangat. Di sini tak semudah itu, wafa harus memilih warung mana yang cocok. Secangkir kopi yang sama harganya bisa saja berbeda untuk beberapa tempat. Mungkin hanya dua ribu di warmindo depan kosan, tapi lebih dari lima belas ribu di cafe sebelah utara selokan mataram.
Gaya hidup adalah kuncinya, tapi mencari standar gaya hidup itu sangat triki. Kamu harus rela kehilangan teman-temanmu dengan standar dan gaya hidup yang berbeda. Mungkin sepintas terlihat "ahh gak mungkin,.". Tapi, coba kita lihat sedikit kenyataannya. Ketika semua temanmu setuju ke cafe di sebeleah utara selokan mataram, apakah kamu menolaknya? Tentu tidak. Ketika sampai disana apa yang kamu pesan? tentunya secangkir kopi yang harganya setara dengan orak-arik ayam ditambah es teh, gorengan dua sama kerupuk satu di warmindo depan kosan. Bahkan mungkin secangkir kopimu itu lebih mahal, karena ada biaya parkir untuk bapak-bapak berbaju jingga yang tiba-tiba hadir di belakangmu dan memegang besi bagian belakang motormu sambil tersenyum -- duit nih. Belum lagi biaya bensin yang sekarang kelasnya tak lagi premium tapi bisa lebih (minimal pertalite). Bayangkan perbedaannya yang jauh itu, ketika kamu melakukan downgrade dari gaya hidupmu, maka teman-temanmu akan mengiramu sombong (karena tak mau lagi di ajak ke cafe sebelah selatan selokan mataram yang berada tepat di depan cafe sebelah utara selokan mataram yang terpisahkan oleh dua jalan dan satu selokan).
Inilah salah satu masalah wafa, mengatur dan memilih mana gaya hidup yang cocok untuknya. Tapi, perjalanan tak semudah itu. Masalah gaya hidup itu harus dirubah sedikit demi sedikit, meskipun kadang terlalu sakit. Sakit karena perut belum di isi sayuran tanpa minyak -- karena itu wafa sering deg-degan karena makanan penuh minyak itu. Membeli-membeli makanan di warmindo itu sangat membosankan dan masih tergolong mahal. Meskipun wafa mencoba beberapa warung makan di sekitar kosan wafa, tapi porsi makanan dari warung-warung itu sangat sedikit. Kadang justru membuat wafa kelaparan di tengah malam yang akhirnya tidak makan melainkan menulis (untuk melupakan sejenak rasa lapar). Dengan membeli makanan-makanan siap santap rasanya masih teralalu mahal. Jatah uang wafa dalam sehari yang hanya seharga kopi di cafe itu ditambah esteh dan gorengan di warmindo membuat wafa harus memutar otak. Bagaimana agar perut kenyang dompet juga masih kenyang.
Langkah selanjutnya adalah bagaimana jika wafa membuat makanan sendiri. Ini terbukti ampuh, dengan membeli beras satu kilo yang harganya sepertiga cangkir kopi, kacang panjang yang harganya seperempat cangkir kopi dan telur setengah kilo yang harganya satu cangkir kopi. Kini wafa dalam empat hari hanya menghabiskan dua cangkir kopi saja. Masalah terselesaikan -- setelah kehilangan gaya hidup yang lama, melawan rasa malas, mekso awak dan memilih lingkaran yang cocok. Apakah ini akan bertahan lama wafa pun masih belum tahu, kita lihat saja nanti.
Kegiatan yang hasilnya selalu membuat penasaran |
---
Hidup di dunia kuliah itu juga tidak mudah dan tidak melulu masalah makanan. Sekarang ini masalah yang nyata adalah tentang mobilisasi badan wafa. Bagaimana badan wafa bisa berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain menjadi mudah dan murah. Sebagai parameternya, asalkan wafa ingin berpidan dari suatu tempat ke tempat lain itu tanpa perlu berfikir ulang.
Beberapa waktu belakangan ini, wafa sudah tak menggunakan sepeda jieyang yang disayang. Karena roda, poros dan rem sudah usang. Wafa yakin untuk memperbaikinya itu setara dengan membeli sepeda bekas di Jogja. Pilihan lain tinggal jalan kaki,pinjam, ojek atau tebengan. Untuk tebengan dan pinjam, wafa selalu membatasinya karena tak ingin merepotkan orang lain dan karena tidak setiap saat orang bisa dan mau direpotkan. Tinggal ojek dan jalan kaki.
Percayalah, ojek sangatlah mahal. Pulang dan pergi dari kosan ke kampus itu memakan biaya sebesar nasi orak-arik ayam ditambah es teh. Jadi wafa sering ke kampus atau pulang dengan jalan kaki sejauh 30 menit melangkah dengan kecepatan jalan kaki rata-rata. Bayangkan jika wafa harus kuliah jam tujuh pagi.
Sekarang inilah masalah besar wafa, bagaimana memobilisasi.
"Makanya kerja Fa",
Pekerjaan yang sangat menjanjikan itu adalah menjadi pengajar les private. Tapi kenyataannya itu membutuhkan kendaraan. Mau menjadi ojek juga perlu kendaraan, ikut lomba juga perlu kendaraan, jualan makanan juga perlu kendaraan, jaga toko pun perlu kendaraan ke tokonya.
Kenyataan yang benar-benar nyata adalah ketika wafa ingin memiliki sepeda motor maka wafa harus perlu motor untuk bekerja. Wafa juga ikut menjadi asisten (itu pun sebenarnya memerlukan kendaraan). Semoga pundi-pundi uang dapat terkumpul di tangan wafa dan bisa mendapatkan kendaraan yang sangat dibutuhkan wafa.
---
Masala kendaraan ini juga berdampak besar pada kuliah wafa. Bagaimana tidak, ketika kuliah pagi datang, wafa harus masak pagi, kadang mencuci dan jalan kaki ke kampus.
"Kenapa gak ngojek?"
Bagaimana cangkir-cangkir kopi dapat terkumpul kalau wafa harus ngojek tiap hari. Melakukan downgrade gaya hidup pun tak cukup, perlu waktu yang lama dan kerja lepas. Kerja lepas yang wafa dapatkan tanpa perlu kendaraan adalah ngoding.
Wafa sangat bersyukur bisa ngoding yang wafa tekuni sejak SMA. Ternyata sedikit keahlian ini sangat berguna bagi hidup wafa sekarang. Wafa sering ditanya kenapa suka ngoding, jawabannya sederhana "karena aku bisa menyuruh komputer apa yang aku mau secara lebih spesifik".
Akhirnya, beberapa matakuliah wafa terbengkalai dengan dalih tak ada kendaraan. Meskipun alasan itu sebenarnya tak dapat diterima. Tapi memang jujur, kuliah yang sudah berada di ujung lembayung ini sangat sulit ketika ditempuh dengan mobilitas yang sangat rendah.
Mungkin malah-masalah ini seperti embun-embun kecil di sepucuk daun lembayung di fajar pagi yang kemudian berkumpul di ujungnya membentuk segumpal air yang akan segera menetes.
---
"Lalu, mengapa tak meminta orang tua?"
Jawaban yang sangat sederhana, "koe ki wes rong puluh tahun luwih lho fa".
---
Bagaimana lanjutan kisah perjuangan wafa?
Jawaban dari itu juga masih wafa tunggu jawabannya. Sekarang yang wafa bisa lakukan hanya berusaha. Berusaha untuk melawan malas, susah tidur dan masalah-masalah yang wafa buat sendiri karena malas.
Wafa hanya selalu mencoba menepati janji dan bertanggung jawab atas semua keputusannya. Karena wafa selalu yakin jika menepati janji dan dapat dipercaya adalah kunci dari kepercayaan orang lain. Kepercayaan itu nantinya akan memudahkan segala jalan wafa. Selain itu, ikhlas yang merupakan ilmu paling sulit (ke-3 setelah ilmu tentang manusia) adalah juga penerang jalan wafa.
Belakangan ini, baru saja mengenal orang-orang baru dengan lingkaran-lingkaran barunya. Seperti ada cahaya-cahaya baru. Cahaya yang sempat tak wafa pikirkan.
Kuliah adalah sebuah tanggaung jawab dan perjuangan keluarga besar untuk mengirim kesatria terbaiknya menaikkan derajat keluarga. Tak hanya soal materi, tapi ini soal sebuah kepercayaan status sosial.
---
Apakah kamu bahagia fa?
Kata cak Nun, hidup ini bergantung orientasimu (hasil atau proses). Menurut wafa, orientasi pada hasil itu bisa gagal dan kecewa. Maka berorientasi pada proses itu sebuah investasi besar atas pengalaman dan ilmu pengetahuan. Karena proses selalu menarik dari setiap sudut dan sisinya.
Sekarang wafa bertanya kembali padamu, "apakah menurutmu wafa bahagia?".
Komentar
Posting Komentar